Prefektur terakhir yang kami kunjungi dalam tur kali ini adalah prefektur paling selatan di antara tiga prefektur yang terdampak gempa dan tsunami sepuluh tahun lalu, Prefektur Fukushima. Mendengar nama Fukushima, yang tebersit jelas adalah insiden pembangkit listrik tenaga nuklir yang mengakibatkan kerusakan panjang untuk daerah sekitarnya.
Insiden nuklir dan masyarakat sekitar
Kami mendapat kesempatan mengunjungi pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, walaupun jelas tidak sampai masuk ke dalam reaktornya.
Ada proses yang panjang sebelum kami bisa masuk ke areal PLTN. Pengecekan identitas, pemindaian barang logam, sanitasi, kemudian setiap peserta diberikan alat pengukur radiasi untuk diselipkan di kantong baju masing-masing. Bus yang kami gunakan di dalam areal PLTN juga dilengkapi alat pengukur radiasi. Ada perasaan ganjil ketika angka pada alat ukur itu perlahan meningkat dari 0 μSv/h menjadi beberapa belas μSv/h seraya kami mendekat ke reaktor nuklir.
Satu titik yang jelas sangat khas Jepang adalah tur PLTN ini dimulai dengan ucapan permintaan maaf disertai tundukan kepala. Berkali-kali pemandu kami berusaha menjelaskan berbagai upaya yang diambil oleh TEPCO, perusahaan yang memiliki PLTN Jepang ini. Dari mulai dinding bawah tanah untuk mencegah bocornya air yang teradiasi, pemrosesan air teradiasi, hingga pembuangan bahan bakar yang tersisa di dalam reaktor nuklir.
Mendengarkan Penjelasan dari Staf PLTN Fukushima
Sekalipun demikian, ada kontras yang jelas ketika setelahnya kami berbicara dengan Bapak Yoshikawa di museum peringatan yang berada di Futaba-cho. Futaba-cho berada langsung di dekat PLTN dan sampai sekarang belum diperbolehkan untuk dihuni tempat tinggal. Bapak Yoshikawa mengatakan bahwa yang penting untuk dilakukan sekarang adalah merencanakan masa depan empat-lima puluh tahun ke depan dengan lebih baik agar tidak terjadi lagi orang-orang kehilangan tempat tinggalnya.
Agar lebih banyak orang-orang tahu tentang sejarah yang berakhir dengan insiden PLTN ini serta agar orang-orang lebih aktif memikirkan masa depan yang mereka inginkan untuk tanah airnya, Bapak Yoshikawa sekarang sibuk mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang kejadian ini lewat organisasi AFW. Bapak Yoshikawa meninggalkan pesan bahwa apa yang terjadi di Fukushima seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk negara-negara lain dalam rencana ke depannya.
Membangkitkan Ekonomi Lokal
Masyarakat Fukushima perlahan-lahan bangkit dan kembali mendirikan apa yang mereka miliki sebelum kejadian sepuluh tahun yang lalu. Masyarakat nelayan di daerah Matsukawaura, Soma misalnya sudah kembali mencari ikan seperti biasa. Sekarang produk-produk ikan kebanggaan mereka dijual di sebuah pusat penjualan bernama Hama no Eki (Stasiun Pantai).
Hama no Eki (Stasiun Pantai)
Hama no Eki menjual berbagai produk lokal. Produk ikan mentah maupun yang sudah diproses, serta produk sayuran dan buah-buah lokal. Berhubung lokasi toko ini berada hanya beberapa ratus meter dari pelabuhan, ikan-ikan yang dijual jauh lebih murah dan segar daripada yang bisa didapat di kota-kota besar.
Toko ini juga mempunyai restoran yang menghidangkan hidangan-hidangan ikan lokal yang juga masih segar langsung dari pelabuhan. Menunya berubah tergantung musim ikan yang paling enak. Menurut Bapak Tokonoda yang membantu mengelola tempat ini, biasanya restoran ini selalu penuh dan barisan pelanggan selalu ada setiap waktu makan.
Di malam harinya kami berkesempatan berbicara dengan berbagai pengusaha yang berusaha merevitalisasi ekonomi tiga prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima. Saya berkesempatan wawancara langsung dengan beberapa orang.
Membangun komunitas lewat shotengai
Ibu Shiya Momoyo adalah seorang penduduk Yamada-cho, sebuah kota kecil di Prefektur Iwate, tidak jauh dari Taro yang saya ceritakan dalam artikel pertama. Setelah bencana sepuluh tahun lalu Ibu Shiya mencari cara untuk menyambungkan tali kekeluargaan seluruh kota tersebut.
Beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan shotengai, atau daerah perbelanjaan dengan harapan tempat ini bisa menjadi lokasi orang-orang berkumpul dan bersosialisasi. Selain itu, kota ini juga mengadakan tur jalan keliling kota, sekalipun akibat virus corona, tahun ini turnya diadakan dari dalam bus. Kota kecil ini juga mengadakan festival kecil di mana mereka berhidang nagasomen.
Kimono bekas menjadi tas lucu
Ibu Hikichi dari Watari, Miyagi dulunya bekerja di museum namun setelah pensiun mencoba mencari cara untuk memperkerjakan perempuan-perempuan lokal yang kesulitan mendapatkan penghasilan. Hasilnya adalah fuguro, dompet khas Jepang yang dibuat dari kimono bekas. Desainnya sangat indah ditambah bahannya daur ulang berkualitas. Produknya ini sudah menerima bahkan dari luar negeri.
Ibu Hikichi berpesan bahwa kain kimono itu berisi perasaan perempuan yang dulu mengenakannya, jadi harapannya orang-orang yang membeli dompet dari kimono ini bisa merasakan perasaan yang tersampaikan orang-orang yang mengenakannya sebelumnya.
Ke depannya, lewat perusahaan Watalis, Ibu Hikichi berencana juga untuk menjual produk yang menggunakan produk lokal seperti stroberi, dll.
Comments