Apa itu "Kain Celup" Jepang? Daerah Produksi Terkenal dan Fitur di Kyoto, Ishikawa, dan Lainnya


Ryukyu Bingata Jepang Kain Celup
©OCVB

Apakah Anda tahu bahwa kain yang digunakan untuk membuat kimono Jepang dapat dibagi menjadi dua jenis utama: kain yang diwarnai dan tekstil yang ditenun? Di antara keduanya, kain yang diwarnai memiliki berbagai teknik dan klasifikasi berdasarkan warna dan pola, masing-masing dengan nama uniknya sendiri. Artikel ini akan memperkenalkan ciri-ciri, sejarah, dan jenis kain celup Jepang. Mari kita mulai perjalanan untuk mengeksplorasi dunia kain yang diwarnai yang mempesona!

Jika Anda membeli atau memesan salah satu item yang ditampilkan dalam artikel ini, sebagian dari hasil penjualan mungkin akan disumbangkan ke FUN! JAPAN.

Ciri-ciri Kain Celup Jepang

Kaga Yuzen
© Federasi Pariwisata Prefektur Ishikawa

Kain celup Jepang dan tekstil yang ditenun digunakan untuk membuat kimono dan aksesori tradisional. Kain celup juga disebut sebagai "some-mono" (barang yang diwarnai). Meskipun keduanya dibuat menggunakan teknik tradisional, perbedaan utama mereka terletak pada urutan produksinya. Untuk tekstil yang ditenun, benang-benang diwarnai sebelum ditenun. Sebaliknya, kain yang diwarnai dimulai dengan kain putih polos, yang kemudian diwarnai atau dipola. Inilah sebabnya mengapa tekstil yang ditenun disebut "kain pra-diwarnai", sementara kain yang diwarnai dikenal sebagai "kain pasca-diwarni". Selain itu, kain yang diwarnai mencakup berbagai teknik dan gaya, yang masing-masing berkembang seiring dengan gaya hidup dan budaya pada zamannya.

Sejarah Pewarnaan di Jepang

Sejarah pewarnaan di Jepang dapat ditelusuri kembali ke periode Jomon ketika pewarna alami yang terbuat dari tanaman dan tanah digunakan. Selama periode Nara, teknik pewarnaan diperkenalkan dari China dan Semenanjung Korea, yang meletakkan dasar bagi pewarnaan Jepang modern dan mempopulerkan teknik seperti pewarnaan bermotif.

Pada periode Heian, budaya Jepang yang unik, "kokufu", berkembang, yang menyebabkan terciptanya warna dan pola tradisional Jepang, bersama dengan kemajuan teknik pewarnaan. Era ini melihat pengembangan praktik budaya seperti pemberian warna khusus berdasarkan peringkat sosial atau musim dan lapisan pakaian tipis yang disesuaikan warnanya, seperti pada kimono upacara berlapis dua belas (juni-hitoe).

Kaga Yuzen
© Federasi Pariwisata Prefektur Ishikawa

Selama periode Edo, teknik pewarnaan semakin berkembang, dan kain celup menjadi populer bahkan di kalangan masyarakat biasa sebagai bentuk mode yang bergaya. Pada pertengahan periode Edo, metode pewarnaan yuzen yang cerah dan rumit dikembangkan, memungkinkan para pengrajin untuk melukis desain yang hidup pada kain.

Pada periode Meiji, pewarnaan kimiawi dari negara-negara seperti Inggris diperkenalkan. Pewarna ini lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami dan menawarkan pasokan yang stabil, yang menyebabkan penggunaannya secara luas. Selama bertahun-tahun, kain celup Jepang telah dibentuk oleh budaya, gaya hidup, dan teknologi setiap era dan terus dihargai hingga saat ini.

Teknik Kain Celup

Ada berbagai metode untuk mewarnai kain pasca-diwarnai, tetapi dua teknik yang paling umum adalah pewarnaan celup (shinsen) dan pewarnaan cetak (nassen). Perbedaan utamanya terletak pada apakah pewarna menembus kain atau hanya mewarnai permukaannya. Mari kita jelajahi kedua teknik ini.

Pewarnaan Celup (Shinsen)

Pewarnaan celup adalah teknik pewarnaan di mana kain dicelupkan ke dalam larutan pewarna yang larut dalam air. Saat kain dicelupkan ke dalam larutan pewarna ini, jika tidak ada proses pencegahan pewarnaan yang dilakukan, kain akan sepenuhnya berwarna polos. Namun, jika sebagian kain diberi perlakuan pencegahan pewarnaan, kain tersebut akan memiliki pola. Produk pewarnaan yang khas dari teknik ini adalah "shibori-zome" (pewarnaan shibori). Shibori-zome adalah teknik di mana kain putih dijepit, diikat dengan benang, atau dijahit untuk menciptakan area yang tertutup. Saat kain dicelupkan ke dalam larutan pewarna, bagian yang dilindungi dari pewarna akan tetap putih, sehingga pola terbentuk. Selain diikat dengan benang, kain juga dapat dijahit rapat atau dijepit dengan papan sebagai metode pencegahan pewarnaan lainnya.

Pewarnaan Cetak (Nassen)

Pewarnaan cetak adalah teknik pewarnaan di mana pola diterapkan langsung pada permukaan kain. Teknik ini mencakup "teknik pewarnaan tangan" (tegaki-zome), di mana gambar dilukis langsung dengan tangan di atas kain putih, dan "teknik pewarnaan cetak" (katazome), yang menggunakan stensil pola yang diukir pada kertas washi, kemudian pewarna diaplikasikan dengan kuas atau alat lainnya. Berbeda dengan pewarnaan celup, yang mewarnai kain hingga bagian dalam serat, nassen hanya mewarnai permukaan serat. Oleh karena itu, dimungkinkan untuk menciptakan pola atau warna yang berbeda antara sisi depan dan belakang kain.

Produk Pewarnaan Tercatat sebagai Kerajinan Tradisional: Pewarnaan Celup

Arimatsu Shibori dan Narumi Shibori (Arimatsu Shibori/Narumi Shibori)

Arimatsu Shibori/Narumi Shibori

Arimatsu Shibori dan Narumi Shibori telah diproduksi di sekitar Kawasan Midori di Kota Nagoya, Prefektur Aichi. Teknik seperti "kanoko shibori" (tie-dye bercak rusa) dan "nui shibori" (tie-dye jahit) mencakup sekitar 100 metode berbeda. Kedalaman warna, pola yang rumit, dan tekstur buatan tangan yang tercapai melalui teknik-teknik ini adalah yang membuat Arimatsu dan Narumi Shibori sangat istimewa.

Asal-usul kerajinan ini bermula pada awal periode Edo. Terinspirasi oleh pakaian tie-dye yang dikenakan oleh pekerja yang membangun Kastil Nagoya, seorang penduduk bernama Shokuro Takeda mulai menciptakan Arimatsu Shibori dengan menerapkan teknik tie-dye pada handuk tangan yang terbuat dari kapas Mikawa. Awalnya, kerajinan ini hanya diproduksi di daerah Arimatsu. Namun, para pelancong yang melewati stasiun penginapan Narumi yang dekat sering membeli kain tie-dye ini sebagai oleh-oleh, yang mengarah pada nama Narumi Shibori. Seiring waktu, kedua nama ini menjadi sinonim, menghasilkan penunjukan bersama Arimatsu dan Narumi Shibori.

👉 Belanja produk Arimatsu Shibori (Yahoo! Shopping)

Kyō Kanoko Shibori (Kyoto Kanoko Shibori)

Kyō Kanoko Shibori (Kyoto Kanoko Shibori) Kyō Kanoko Shibori adalah teknik pewarnaan di mana kain putih dicubit, diikat dengan benang satu per satu, dan diwarnai untuk membiarkan bagian-bagian tertentu tetap tidak diwarnai, menciptakan pola. Kain celup ini diproduksi di Prefektur Kyoto. Teknik ini berkembang pada pertengahan periode Edo. Nama "Kanoko" (rusa) berasal dari kemiripan pola dengan bercak rusa. Ada lebih dari 50 jenis teknik shibori, dan setiap pengrajin mengkhususkan diri dalam satu jenis.

Pada Kyō Kanoko Shibori, setiap bagian kecil diikat secara individu, dan untuk setiap warna yang digunakan, proses pewarnaan diulang. Pola kecil ini bisa sekecil 10–15 titik dalam 3,8 cm, dengan setiap titik berukuran sekitar 2,5 mm. Karena pengerjaan tangan yang rumit, dibutuhkan waktu yang luar biasa untuk menyelesaikan satu kain. Misalnya, dapat memakan waktu hingga satu setengah tahun untuk membuat kimono yang sepenuhnya diwarnai dengan teknik shibori (*1) atau lebih dari dua tahun untuk furisode (*2). Selain itu, variasi kecil dalam pengikatan karena proses buatan tangan menghasilkan tekstur yang unik, membuat setiap karya menjadi berbeda. Keunikan ini adalah bagian dari daya tarik Kyō Kanoko Shibori.

*1 Kimono yang seluruh kainnya diwarnai dengan teknik shibori.
*2 Jenis kimono dengan lengan panjang, dikenakan sebagai pakaian formal oleh wanita muda yang belum menikah.

👉 Belanja produk Kyō Kanoko Shibori (Yahoo! Shopping)

Tokyo Mūjizome (Pewarnaan Polos Tokyo)

Tokyo Mūjizome adalah teknik pewarnaan yang paling mendasar, melibatkan pewarnaan kain sutra dengan satu warna. Namun, mewarnai kain sepanjang 13 meter secara merata tanpa bercak bukanlah tugas yang mudah. Mūjizome berasal pada pertengahan hingga akhir periode Edo ketika pewarna menggunakan warna solid seperti ungu Edo, coklat Edo, dan indigo. Selama periode Edo, pemerintah sering mengeluarkan "undang-undang pembatasan barang mewah" yang melarang penggunaan warna-warna mewah. Meskipun demikian, orang-orang Edo menolak untuk menyerah pada rasa gaya mereka. Ini menyebabkan popularitas pewarnaan polos Edo dan pewarnaan shibori Kyoto. Ada bahkan sebuah ungkapan, "Ungu Edo dan Kanoko Kyoto," yang melambangkan keunggulan pewarnaan ungu Edo dan pewarnaan shibori Kyoto, mencerminkan tren mode kedua wilayah tersebut. Puncak dari teknik-teknik ini telah diteruskan dan dilestarikan dalam Tokyo Mūjizome saat ini.

👉 Belanja produk Tokyo Mūjizome (Yahoo! Shopping)

Produk Pewarnaan Tercatat sebagai Kerajinan Tradisional: Pewarnaan Cetak

Kyō Yūzen (Kyoto Yūzen)

Kyō Yūzen, yang berasal dari Prefektur Kyoto, adalah teknik pewarnaan kain dengan pola artistik berwarna-warni. Teknik ini dikembangkan oleh Miyazaki Yūzensai, seorang seniman lukisan kipas pada periode Edo. Berbeda dengan teknik lain yang mewarnai kain sebelum dijahit, Yūzen dimulai dengan menjahit kain menjadi bentuk kimono. Kemudian, desain digambar pada kain, dan pasta diaplikasikan pada garis luar pola untuk mencegah warna saling bercampur. Proses pewarnaan dilakukan dengan tangan menggunakan pewarna yang cerah dan beragam.

Proses rumit ini melibatkan banyak tahapan, yang masing-masing dikerjakan oleh pengrajin khusus. Namun, tahapan-tahapan tersebut tidak dirancang sekaligus, melainkan berkembang dengan mengintegrasikan teknik-teknik yang dikembangkan dari masa ke masa.

Setelah menyempurnakan metode pewarnaannya, Miyazaki Yūzensai mengajarkan teknik ini di Kaga (sekarang Prefektur Ishikawa), sehingga teknik ini menyebar ke Kaga, Edo, dan daerah lain. Meskipun Yūzen dari setiap daerah memiliki karakteristiknya masing-masing, salah satu ciri khas Kyō Yūzen adalah kemewahannya, seperti penggunaan bordir dan daun emas atau perak. Saat ini, meskipun teknologi modern seperti pewarna kimia dan pencetakan inkjet telah diterapkan, Yūzen yang diwarnai tangan menjadi semakin langka dan sangat dihargai.

👉 Belanja produk Kyō Yūzen (Yahoo! Shoppinh)

Kaga Yūzen

Kaga Yuzen
© Federasi Pariwisata Prefektur Ishikawa

Kaga Yūzen, kain yang diwarnai dari Kota Kanazawa di Prefektur Ishikawa, dikembangkan di bawah bimbingan Miyazaki Yūzensai, pencipta teknik pewarnaan Yūzen di Kyoto. Ciri khasnya adalah pola yang elegan dan indah, yang diciptakan menggunakan "Kaga Gosai" (Lima Warna Kaga): biru indigo, oker, hijau rerumputan, ungu kuno, dan merah tua. Yang unik dari Kaga Yūzen adalah efek "kabur" yang tampak memudar dari tepi pola menuju tengah, serta penggambaran daun dengan lubang bekas gigitan serangga. Perbedaan lainnya dibandingkan Kyō Yūzen adalah fokus Kaga Yūzen pada nuansa merah klasik yang mendalam serta desain yang terinspirasi oleh keindahan alami bunga dan tumbuhan. Meskipun teknik modern seperti pencetakan inkjet kini digunakan, Kaga Yūzen yang dilukis dengan tangan tetap setia pada metode tradisionalnya, menjaga warisan kerajinan tangan yang berharga.

👉 Belanja produk Kaga Yuzen (Yahoo! Shopping)

Ryūkyū Bingata

Ryukyu Bingata
©OCVB

Ryūkyū Bingata, yang diproduksi di sekitar Kota Shuri di Prefektur Okinawa, berasal dari Kerajaan Ryūkyū pada abad ke-14 hingga ke-15. Kain ini mencakup dua gaya yang berbeda: "Bingata" dan "Aigata." Keduanya menggunakan teknik pewarnaan stensil dengan cetakan kertas dan metode "tsutsubiki," yaitu menggambar pola secara bebas menggunakan pasta.

Bingata menampilkan warna-warna cerah yang mencerminkan iklim tropis dan dulunya dipakai sebagai pakaian upacara oleh wanita kerajaan dan bangsawan Kerajaan Ryūkyū. Sebaliknya, Aigata, yang hanya menggunakan pewarna indigo Ryūkyū, digunakan untuk pakaian sehari-hari atau dalam ruangan oleh kaum bangsawan dan dikhususkan untuk rakyat biasa yang sudah lanjut usia.

Warisan Ryūkyū Bingata dilestarikan oleh dua keluarga dari tiga rumah pewarnaan asli yang melayani istana kerajaan Ryūkyū. Berkat dedikasi mereka, teknik dari Kerajaan Ryūkyū berhasil diwariskan dan dikenal oleh khalayak yang lebih luas.

👉 Belanja produk Ryūkyū Bingata (Yahoo! Shopping)

Daftar Isi

Survey[Survei] Liburan ke Jepang







Recommend