【Budaya Tradisional】"Warna tradisional" Jepang: Daftar Warna Representatif
Tahukah Anda bahwa Jepang memiliki kumpulan warna tradisional unik yang telah diwariskan selama beberapa generasi? Banyak dari warna-warna ini berakar pada pemandangan alam seperti bunga, tumbuhan, dan hewan yang menandai perubahan musim, serta elemen budaya seperti makanan musiman dan festival. Warna-warna ini, yang dipengaruhi oleh iklim dan lingkungan alam khas Jepang, dinamai berdasarkan rasa estetika unik masyarakat Jepang.
Artikel ini memperkenalkan warna-warna tradisional yang representatif, kemunculannya dalam sejarah, asosiasi musiman, dan contoh penggunaannya dalam berbagai konteks.
Apa Itu "Warna Tradisional" Jepang?
Warna tradisional, yang telah diwariskan di Jepang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh iklim khas negara tersebut dengan perubahan musim yang jelas serta warisan budayanya yang kaya.
Sebagai contoh, banyak warna tradisional terinspirasi oleh lanskap musiman seperti bunga, tumbuhan, dan hewan, serta mineral, batu semi-mulia, makanan musiman, arsitektur, seni, dan kerajinan. Setiap warna sering kali memiliki cerita di balik namanya.
Warna-warna ini mencerminkan sensitivitas dan rasa estetika unik masyarakat Jepang. Selama berabad-abad, warna-warna tradisional telah digunakan dalam kerajinan seperti tenun dan pewarnaan, serta dalam arsitektur dan lukisan Jepang. Bahkan hingga hari ini, warna-warna ini masih digunakan dalam barang-barang seperti kimono, aksesori tradisional, dan kertas washi, melanjutkan tradisi yang telah berlangsung lama.
Warna Tradisional dalam Sejarah Jepang
Warna tradisional muncul dalam berbagai aspek masyarakat Jepang, termasuk politik, budaya, dan seni, selama berbagai periode. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana warna-warna ini ditampilkan dalam sejarah panjang Jepang.
Sistem Tingkatan Dua Belas Mahkota: Warna Mahkota yang Ditentukan Berdasarkan Pangkat Jabatan
Sistem Tingkatan Dua Belas Mahkota adalah sistem pangkat resmi yang diterapkan dari tahun 605 hingga 648. Dalam sistem ini, warna mahkota dibagi menjadi 12 warna sesuai pangkat, sehingga pangkat seseorang dapat diketahui secara langsung. Warna yang ditetapkan untuk pangkat tertinggi adalah "濃紫 (koki)" atau ungu tua yang pekat dan dalam. Hal ini karena pewarna ungu merupakan bahan yang sangat berharga dan sulit diekstraksi. Pangkat kedua menggunakan warna "薄紫 (usuki)" atau ungu muda, yang membutuhkan lebih sedikit pewarna dibandingkan ungu tua. Pangkat berikutnya menggunakan warna biru, merah, kuning, putih, dan hitam, yang masing-masing dibedakan berdasarkan gradasi warna gelap dan terang.
Warna yang Dilarang dan Larangan Mutlak: Warna yang Tidak Boleh Dipakai!?
Setelah Sistem Tingkatan Dua Belas Mahkota dihapuskan, penggunaan warna berdasarkan pangkat bergeser dari warna mahkota menjadi warna pakaian. Orang-orang tidak diperbolehkan mengenakan pakaian dengan warna yang melampaui pangkat mereka. Warna-warna tersebut disebut kinjiki atau warna yang dilarang.
Selain itu, ada pula zettei-kinjiki atau larangan mutlak, yaitu warna yang hanya boleh dikenakan oleh Kaisar dan Putra Mahkota. Warna ini meliputi "黄櫨染 (kōrozen)" atau cokelat kekuningan, dan "黄丹 (ōni)" atau jingga cerah dengan semburat merah.
Sementara itu, warna yang dikenakan oleh orang-orang dari kalangan bawah adalah warna seperti merah muda pucat "一斤染 (ikkonzome)" atau ungu lembut. Karena warna-warna ini diizinkan untuk dikenakan oleh siapa saja, mereka disebut yurushi-iro atau warna yang diperbolehkan.
Seiring berjalannya waktu, pada Zaman Edo, pemerintah sering kali mengeluarkan larangan kemewahan atau shashikinshirei, yang melarang penggunaan warna-warna yang mencolok. Namun, masyarakat Edo tetap kreatif. Mereka menciptakan banyak variasi warna dalam gradasi cokelat dan abu-abu yang diperbolehkan. Warna-warna ini dikenal sebagai "四十八茶百鼠 (shijūhatcha hyakunezumi)" atau 48 variasi cokelat dan 100 variasi abu-abu. Dengan warna-warna tersebut, mereka memadukannya secara anggun dalam pakaian kimono, menghasilkan tampilan yang tetap elegan dan berkesan.
Dua Belas Lapisan Zaman Heian: Perpaduan Warna yang Mencerminkan Kecerdasan dan Selera
Selain aturan pangkat dan warna yang dilarang, pada Zaman Heian, para dayang istana juga diharuskan memiliki pengetahuan mendalam tentang perpaduan warna sebagai bagian dari kecerdasan mereka. Pakaian tradisional "jūnihitoe" yang dikenakan oleh para dayang istana terdiri dari beberapa lapisan kain sutra tipis tanpa pelapis, yang memungkinkan lapisan di bawahnya terlihat samar. Karena itu, perpaduan warna menjadi hal yang sangat penting.
Tidak hanya tampilan yang menarik, tetapi juga nuansa musiman memainkan peran besar. Panduan dalam memadukan warna adalah nama-nama warna tradisional, yang banyak terinspirasi dari tumbuhan, hewan, atau lanskap musiman. Aturannya adalah mengenakan warna sesuai dengan musim yang diwakili oleh nama warna tersebut. Oleh karena itu, untuk menciptakan perpaduan warna yang sesuai, diperlukan kecerdasan dan selera yang baik.
Warna Tradisional Utama yang Digunakan di Jepang
Warna Ungu
Ungu ditetapkan sebagai warna mahkota untuk pangkat tertinggi dalam Sistem Tingkatan Dua Belas Mahkota. Warna ini berasal dari keindahan bunga tanaman murasaki (紫草). Namun, bunga murasaki sebenarnya berwarna putih. Lalu, apa yang menghasilkan warna ungu? Warna ungu diperoleh dari akar tanaman murasaki, yang digunakan sebagai bahan pewarna. Akar ini disebut shikon (紫根), dan untuk membuat pewarna, akarnya harus dikeringkan, ditumbuk menggunakan batu giling, dimasukkan ke dalam kantong, lalu diseduh dengan air panas dan disaring berulang kali.
Proses ini sangat melelahkan, dan untuk menghasilkan ungu pekat, dibutuhkan banyak pewarna. Semakin pekat warna ungu yang dihasilkan, semakin tinggi kesan kebangsawanan yang diberikan.
Seiring waktu, pewarna ungu juga mulai dibuat dari tanaman lain seperti suō (蘇芳). Namun, kain yang diwarnai menggunakan shikon disebut "hon-murasaki" (本紫), sedangkan kain yang diwarnai dengan pewarna dari suō disebut "nise-murasaki" (似紫). Saat ini, tanaman murasaki telah dikategorikan sebagai spesies terancam punah, sehingga upaya penanaman dilakukan di berbagai daerah di Jepang untuk melestarikannya.
Warna Merah Akane
Warna akane-iro (茜色) berasal dari tanaman akane (赤根), yang telah digunakan sebagai bahan pewarna alami tertua dalam sejarah manusia. Akane-iro adalah warna merah yang pekat dan dalam. Terdapat catatan sejarah yang menyebutkan bahwa pada abad ke-3, Ratu Himiko dari Yamataikoku di Jepang menerima kain berwarna akane dari Kaisar Wei di Cina.
Tanaman akane, seperti murasaki, menyimpan pigmen warna merah di akarnya. Akar tanaman ini dikeringkan dan direbus untuk menghasilkan pewarna. Ada berbagai jenis akane, termasuk akane dari Eropa dan India, tetapi akane asli Jepang memiliki akar yang lebih kecil. Oleh karena itu, dibutuhkan banyak akar untuk menghasilkan bahan pewarna. Saat ini, populasi akane liar telah berkurang drastis, sehingga menjadikannya bahan pewarna yang langka.
Warna Biru Indigo
Selain berasal dari pewarna, warna tradisional Jepang juga ada yang berasal dari pigmen yang digunakan dalam seni Jepang dan arsitektur. Salah satunya adalah gunjō (群青), warna biru tua dengan semburat ungu. Warna ini berasal dari pigmen batu yang disebut gunjō (群青), yang berarti "kumpulan biru." Pigmen ini dibuat dengan menghancurkan mineral azurit (randōkō, 藍銅鉱).
Karena gunjō adalah pigmen yang sangat mahal, sebanding dengan batu permata, warna ini hanya digunakan untuk seni Buddha yang penting. Selain gunjō, ada banyak warna biru tradisional lainnya, seperti aoiro (藍色), yang merupakan salah satu pewarna tanaman tertua dalam sejarah manusia, sejajar dengan akaneiro.
Warna Tradisional Berdasarkan Musim di Jepang
Musim Semi: Warna Sakura
Sakura-iro adalah warna merah muda pucat yang lahir pada zaman Heian. Pada masa itu, bunga sakura yang dikenal adalah sakura gunung, yang bunganya sebenarnya berwarna putih. Namun, sakura-iro dinamai berdasarkan aturan kombinasi warna kasane-irome (かさね色目) dalam kimono. Kain sutra tipis yang digunakan saat itu tembus pandang, sehingga warna lapisan bawah terlihat dan digunakan untuk mengekspresikan musim. Salah satu pola musim semi adalah sakura, dengan kombinasi warna shiro (putih) untuk lapisan luar dan akahana (merah bunga) untuk lapisan dalam, yang merepresentasikan bunga sakura gunung.
Musim Panas: Warna Nadeshiko
Nadeshiko-iro adalah warna merah muda lembut dengan semburat ungu, terinspirasi dari bunga nadeshiko dan muncul pada zaman Heian. Dalam kasane-irome, kombinasi warna yang digunakan antara lain beni (merah cerah) untuk lapisan luar dan murasaki (ungu) untuk lapisan dalam, atau benibai (merah plum) dengan ao (biru). Bunga ini melambangkan kecantikan dan kelembutan wanita Jepang, menjadi asal usul istilah "Yamato Nadeshiko," yang merujuk pada wanita Jepang yang anggun.
Musim Gugur: Warna Momiji
Momiji-iro adalah warna merah cerah seperti daun maple yang berubah warna pada akhir musim gugur. Warna ini berasal dari kombinasi warna dalam pakaian zaman Heian: aka (merah) untuk lapisan luar dan kōaka (merah gelap) untuk lapisan dalam, yang merepresentasikan daun maple yang memerah. Ada pula pola lain, seperti kiiro (kuning) untuk lapisan luar dan suō (merah kecokelatan) untuk lapisan dalam, yang menggambarkan perpaduan daun kuning dan merah.
Musim Dingin: Warna Gin-Nezu
Gin-nezu adalah warna abu-abu cerah dengan semburat perak. Warna ini adalah salah satu dari variasi shijūhatcha hyakunezumi (48 gradasi cokelat dan 100 gradasi abu-abu) yang populer saat larangan kemewahan diberlakukan. Selain itu, gin-nezu juga digunakan dalam seni lukis tinta Jepang (sumi-e) sebagai bagian dari lima gradasi warna tinta.
Penggunaan Warna Tradisional dalam Aksesori Jepang
Warna tradisional Jepang masih digunakan hingga kini, terutama dalam kimono, obi, dan aksesori seperti obiage (syal obi) atau obijime (ikat obi). Selain itu, warna tradisional juga ditemukan pada boneka Jepang, kertas washi, origami, dan syal. Beberapa warna tradisional dianggap membawa keberuntungan, sehingga dapat menjadi referensi saat memilih oleh-oleh.